Minggu, 03 Oktober 2010

Diskusi Menolak Lupa #1 - Sebuah Pendahuluan dan Catatan Diskusi

Pada kesempatan kali ini, kami dari Kelompok Diskusi Astina bekerja sama dengan Komafil, Autopshy, dan Markas Sastra mengangkat sebuah tema dalam diskusi kita kali ini: sebuah perjuangan, perjuangan melawan lupa.

Mungkin beberapa dari kalian masih ingat, mungkin juga tidak, apa yang terjadi berpuluh tahun yang lalu pada tanggal 30 September. Bukan, bukan meninggalnya James Dean atau lahirnya Monica Belucci. Jauh lebih penting dari dari itu. Ya, tanggal yang sangat sakral bagi negara kita. Tanggal yang dinodai oleh peristiwa yang memulai tahun-tahun gelap Republik Indonesia. Ah, semoga kalian tidak lupa, kawan!

sudah ingat kah?

Diskusi ini diadakan tepat pada tanggal 30 September 2010. Tujuan? Kami hanya ingin mencegah lupa secara massal. Ide, argumen, memori, dan semangat kami terhadap isu ini adalah amunisi perlawanan kami. Ya, kami menolak lupa!

Pada beberapa hari ke depan, kami akan mem-posting tiga makalah yang ditulis sebagai bahan diskusi kali ini. Pertama-tama, izinkan kami mem-posting catatan diskusi kemarin. Sebagai pendahuluan, mungkin?

Baiklah, berikut ini catatan diskusi yang ditulis oleh Adityo Anggoro Saragih:


------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Pencarian Kemanusiaan
Adityo Anggoro Saragih, Kelompok Diskusi Astina


30 September 2010 Astina mengadakan Diskusi dengan tema pencarian kemanusiaan. Diskusi kali ini merupakan kerja sama antara Astina dengan Komafil, Autopshy dan Markas Sastra. Komafil merupakan satu komunitas mahasiswa Filsafat menjadi tuan rumah dalam penyelengaraan diskusi kali ini dan Autopshy adalah sebagai media bulletin Komafil. Sedangkan Markas sastra adalah komunitas yang giat dalam literature sastra.

Tema yang kami angkat adalah ‘Pencarian kemanusiaan’, mengapa karena kami menggunakan momentum 30 September sebagai satu peristiwa sejarah yang tidak boleh kita lupakan. Alasan yang tepat adalah melihat efek yang ditimbulkan dari 30 September dengan hilangnya beberapa orang karena di cap sebagai komunis, serta ikut dalam tindakan putch tersebut. Efek yang sangat besar adalah dihilangkanya Ideologi komunisme dalam pertarungan politik Indonesia. Hal tersebut sangatlah tidak masuk akal , mengapa? Karena Negara tidak memberikan kejelasan yang tepat atas peristiwa tersebut, yang ada hanyalah mitos bahwa PKI yang melakukan tindakan tersebut, dan gerwani membantu PKI dalam melaksanakan aksinya.

John Rossa telah memberikan penjelasan bahwa peristiwa 30 september bukanlah tindakan PKI, melainkan intrik dalam militer dan efek yang terburuk adalah hadirnya pembantaian massal di Bali. Pembantaian tersebut dilakukan semena mena tanpa terdapat proses hukum yang jelas. Berarti , tidak semua korban tersebut adalah PKI, serta tidak benar bahwa PKI yang melakukan tindakan tersebut. Alasan pendukung lainya adalah informasi yang diperoleh tentang peristiwa tersebut hanya boleh didapat melalui Militer. Sehingga dengan Mudah Militer memojokkan PKI adalah Dalang peristiwa tersebut.
Lantas, kami ingin melihat bahwa peristiwa tersebut adalah satu tragedi bagi kemanusiaan dengan dua alasan. Pertama, efek yang ditimbulkan paska 30 September. Kedua, 30 September sebagai tindakan kudeta PKI sehingga ideology Komunisme dilarang di Indonesia serta orang – orang yang dituduh Komunisme tidak memiliki hak Politik serta hak ekonomi. Janggal kiranya jika kita melihat peristiwa tersebut adalah sebuah perisitiwa Politik. Politik secara ekstrim adalah peristiwa perang dimana hadirnya korban tidak dielakkan. Nelson Mandela dengan tegas siap mati untuk membela kesetaraan, Martin Luther King juga tidak pernah mundur dalam melakukan perlawanan terhadap supermasi kulit putih. Namun yang menjadi masalah adalah jika orang – orang yang tidak ikut dalam politik dan mendapatkan imbas dari peperangan tersebut. Keadaan tersebut dialaim para korban yang di cap Komunis. 

Diskusi kali ini menghadirkan tiga pembicara yaitu Willy (Antropologi 2008), Fitri Kumalasari ( Filsafat 2007), Aditya R (Arkeologi 2008). Willy melihat bahwa kemanusiaan telah terdapat dalam semangat founding fathers dimana penekanan Bhinekka Tunggal Ika sayangnya Soeharto merubahnya menjadi bentuk totalitarian Pancasila, serta proses Jawanisasi. Aditya R dengan latar belakang Sastra melihat Kemanusiaan proletariat yang memilki arti kemanusiaan adalah usaha perlawanan terhadap ketertindasan. Fitri Kumalasari melihat Kemanusiaan sebagai rehabilitasi the others, the others dalam masalah ini adalah korban yang dicap sebagai Komunis.
Diskusi kali ini juga ditanggapi oleh dua dosen muda yaitu Ikhaputri (Dosen Muda dan peneliti Yayasan Jurnal Perempuan), Hendra Kaprisma (Dosen Muda Sastra Rusia). Ikhaputri menegaskan bahwa kemanusiaan adalah satu symbol perlawanan terhadap kooptasi Soeharto, dan Hendra menjelaskan bahwa Kemanusiaan dapat digambarkan melalui sastra.

Semoga kita tetap berikhtiar atas kemanusiaan, dan memaknai 30 September bukan lagi sebagai tindakan pucth PKI, melainkan sebagai sebuah peristiwa Memorandum Perubahan.



5 komentar:

  1. jikalau teman-teman ada yang punya koleksi gambar-gambar pada saat itu (30 September), silakan disharing ya di page FB Astina:

    http://www.facebook.com/pages/Kelompok-Diskusi-Astina/136909009687045

    BalasHapus
  2. saya acungkan tangan sebagai tanda setuju untuk melawan lupa

    BalasHapus
  3. "Pada beberapa hari ke depan, kami akan mem-posting tiga makalah yang ditulis sebagai bahan diskusi kali ini."

    Tiga makalah? Mau liat dongs...

    BalasHapus
  4. ditunggu saja mister
    yang nugas posting lagi bikin tugas hahahaha

    BalasHapus
  5. salah seorang penulis sastra Indonesia, Fahd Djibran, dalam "Curhat Setan", mengatakan bahwa penting bagi kita manusia untuk menulis agar tidak dilupakan sejarah. SEJARAH! Penting bagi kita untuk mengingat kembali sejarah agar tidak lupa, mebuka lagi tabir sejarah yang kelam, mengkaji demi mencapai penerangan untuk mendatangkan manfaat bagi semua.

    AYO KITA MELAWAN LUPA!

    BalasHapus